Fokuskini – Siapa sangka kalau ternyata benar bahwa sosok pebasket NBA, LeBron James menjadi inspirasi bagi Thiago Silva—selaku dua legenda hidup yang sama-sama berusia 40 tahun namun masih tampil di level tertinggi berkat dedikasi, kedisiplinan, dan semangat juang tanpa henti.
“LeBron adalah pemain favorit saya. Di mana pun dia bermain, saya pasti dukung,” ungkapnya sambil tertawa.
“Kalau dia main dan saya sempat menonton, saya selalu dukung ‘King James’. Ini sangat istimewa karena kita tahu bahwa usia sering jadi alasan diskriminasi dalam olahraga. Saya merasakannya sendiri, dan saya tahu betapa sulitnya untuk tetap kompetitif di level atas di usia seperti ini,” papar Thiago di situs resmi FIFA.
Thiago Silva adalah simbol kekuatan, ketenangan, dan kepemimpinan sejati di lini belakang.
Kini setelah bertualang hampir dua dekade di panggung sepakbola dunia, sang bek tengah memilih untuk menutup perjalanannya di tempat semuanya bermula yaitu Fluminense. Thiago Silva kembali ke Laranjeiras, tempat karier profesionalnya benar-benar dimulai hampir 20 tahun lalu.
Di usia 40 tahun, ia siap menuliskan bab penutup yang bersejarah dalam karier gemilangnya.
Dalam waktu dekat, jenderal sektor pertahanan ini akan memimpin Tricolor beraksi di FIFA Club World Cup 2025 — dan bisa jadi, ini adalah panggung terakhirnya sebagai pemain aktif.
Sejak meninggalkan Brasil pada 2008, Thiago menjelma menjadi pilar utama di jantung pertahanan AC Milan, Paris Saint-Germain, dan Chelsea.
Ia selalu jadi tokoh penting. Namun, cinta sejatinya tetap tertambat di Fluminense, klub yang memberinya pijakan awal dan tempat yang selalu ia anggap rumah.
“Jujur, saya tidak pernah bermimpi bisa mengalami momen ini, bahkan dalam mimpi paling liar saya,” diakui Thiago.
“Kembali mengenakan jersey ini setelah semua pencapaian di Eropa adalah kehormatan besar sekaligus tanggung jawab. Harapan saya di akhir karier ini sederhana dengan bisa mengangkat trofi bersama Fluminense. Semoga tahun ini jadi tahun yang spesial — mungkin juga yang terakhir bagi saya di lapangan hijau,” ujarnya panjang lebar.
“Merupakan suatu kehormatan untuk bermain di Club World Cup untuk klub yang saya cintai dan dukung. Ini akan menjadi hal yang sangat istimewa, tetapi saya masih memiliki banyak tanggung jawab untuk memberikan penghormatan kepada seragam ini, dan untuk pulang dengan kepala tegak,” tambahnya.
Silva tahu betul medan pertempuran yang akan ia dan Fluminense hadapi di FIFA Club World Cup 2025. Dengan 32 klub elitis dari seluruh penjuru dunia yang telah berjuang keras untuk lolos ke turnamen ini, dan ia sadar bahwa menargetkan gelar bukan perkara mudah.
Fluminense tergabung di Grup F bersama raksasa Jerman Borussia Dortmund, raja Afrika Selatan Mamelodi Sundowns, serta wakil Korea Selatan Ulsan HD — tantangan berat yang mungkin hanya menjadi permulaan jika mereka mampu menembus fase gugur.
Fluminense dijadwalkan memainkan dua laga awal fase grup di New York New Jersey, sebelum menutup fase grup di Miami.
Dua kota yang identik dengan hiruk-pikuk dan suvenir. Tapi bagi Silva, oleh-oleh terbaik dari turnamen ini bukan benda, melainkan kenangan tidak ternilai.
Silva bukan orang baru di panggung besar. Ia pernah membela Brasil di empat edisi Piala Dunia FIFA, dan bahkan mengangkat trofi FIFA Club World Cup 2021 bersama Chelsea FC.
“Atmosfernya pasti akan luar biasa. Saya berharap para suporter Fluminense hadir dalam jumlah besar di Amerika Serikat dan membawa energi khas kita—membuat kami merasa seperti sedang bermain di Maracana. Turnamen ini benar-benar seperti Piala Dunia sesungguhnya. Ini panggung besar dan kami sangat bersemangat menyambut tahun yang penuh harapan.”
Momen nostalgia pun muncul saat Silva mengenang awal mimpinya menjadi pesepakbola. Saat usianya belum genap 10 tahun, ia menyaksikan Brasil meraih gelar juara dunia ke-4 di Piala Dunia FIFA 1994—yang juga digelar di Amerika Serikat, negeri yang akan menjadi panggung bagi Fluminense tahun ini.
“Itu sudah lama sekali, tapi kenangan itu takkan pernah hilang. Saat itulah saya mulai bermimpi jadi pemain sepakbola. Skuad Brasil saat itu—dengan Romario dan Bebeto di lini depan—sangat menginspirasi saya,” kenangnya.
“Sebagai anak kecil, saya ingin menjadi seperti mereka. Awalnya saya membayangkan diri sebagai striker, tapi ternyata jalan hidup membawa saya ke posisi yang berbeda sebagai bek.”
Siapa sangka, anak yang dulu bermimpi jadi Romario kini tumbuh menjadi salah satu bek tengah terbaik dalam sejarah sepakbola modern.