Fokuskini – Bebrayan dalam konteks tata norma kemasyarakatan mengandung makna implementasi nilai hidup yang berhubungan dengan orang lain atau relasinya. Dalam konteks tersebut juga menyiratkan hubungan timbal balik, saling mengisi-melengkapi, sekaligus tidak meninggalkan unsur nilai hakiki setiap personal yang berinteraksi di dalamnya.
Kemudian yang termaknai dari konteks bebrayan terkait hubungan mutualistik dalam hal lebih privat antara dua manusia yang terikat dalam komitmen hidup bersama, tentunya merupakan fenomena tersendiri yang unik.
Kompleksitas di dalam bebrayan, baik itu dalam jagat rumah tangga (omah-omah), hingga semesta sosio-kultural (bermasyarakat) yang begitu plural terkandung satu hakikat, yaitu impelementasi bebrayan sebagai medium. Makna bebrayan di dalam pengertian umum adalah bergaul, bermasyarakat, atau komunikasi, maka dengan begitu hakikat bebrayan sebagai medium akan berkelindan dengan berbagai aspek kehidupan di sekelilingnya.
Seni menjadi relevan sebagai aspek kehidupan yang tidak lepas dari (hasil) bebrayan. Seni, atau dalam konteks ini adalah seni rupa yang coba dipresentasikan oleh Susanto dan Siti Nur Qomariyah (Kokom) bisa jadi adalah bebrayan seni rupa, juga sekaligus Seni Bebrayan mereka berdua.
Konsep bebrayan yang melandasi pameran seni rupa tunggal (mereka) berdua yang dikuratori Joseph Wiyono — menjadi momen budaya yang unik karena kita, para penonton akan diajak untuk mengulik lebih jauh konsepsi mereka.
Tidak hanya menyangkut bahwa dua seniman ini terikat oleh bebrayan itu sendiri (omah-omah), akan tetapi juga mereka mengikatkan diri dalam bebrayan artistik yang rentan terhadap intervensi-intervensi domestik omah-omah mereka.
Konsepsi tentang bebrayan yang coba diimplementasikan didalam gelaran atau prosesi pameran seni rupa mereka di Bentara Budaya Solo (Balai Soedjatmoko, 21-26 Februari 2020) kiranya menjadi medium mereka untuk mewacanakan aspek apresiasi seni rupa dalam arti luas, dan medium bebrayan artistik selama omah-omah mereka berdua.