Bincang Buku Bersama Roanne van Voorst

Galeri Seni MOMENTUM

Fokuskini – Bincang buku “Tempat Terbaik di Dunia” karya Roanne van Voorst dijadwalkan berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 17 Maret mendatang. Bermuatan tentang pengalaman live-in Roanne di salah satu kawasan kampung kumuh di Jakarta, buku ini disebut-sebut sebagai karya antropologis yang mematahkan prasangka negatif dari para pejabat dan kelas menengah atas Indonesia yang cenderung mencap penghuni kampung kumuh sebagai kriminal dan pemalas, sekaligus juga praduga positif dari sebagian aktivis dan peneliti yang kerap memandang persoalan riil kemiskinan secara romantik.

Dengan informatif, intim, dan penuh humor, Roanne memberikan wawasan unik tentang kehidupan penghuni kampung kumuh yang keras tetapi pantang menyerah.

Roanne van Voorst adalah seorang antropolog dan pe­nulis buku-buku non-fiksi maupun fiksi. Debutnya diawali lewat “Jullie zijn anders als ons: Jong en Allochtoon in Nederland” (2010), buku tentang kaum muda imigran di Belanda.

Beliau meraih gelar doktor dengan pre­dikat cumlaude dari Universitas Amsterdam pada 2014. Penelitiannya tentang banjir di Indonesia melahirkan buku akademis “Natural Hazards, Risk and Vulnerability: Floods and Slum Life in Indonesia” (2015), serta kisah pengalamannya dalam versi populer “De beste plek ter wereld: Leven in de sloppen van Jakarta” (2016). https://mostbet-games.net/sw-en/

Roanne juga pendiri Fearlessly Fearful, platform daring untuk melatih peserta agar menjalani hidup dengan lebih berani. Sendirinya seorang pemanjat tebing, ia menerbitkan wawancaranya dengan para pemanjat kelas dunia tentang cara mengatasi ketakut­an dalam “Fear! Extreme Athletes on How to Reach Your Highest Goals and Overcome Fear and Self Doubt” (2018). Sedangkan karya-karya fiksinya adalah “De verhuizing” (2015) dan “Lief van je” (2018).

Sebagai antropolog, fokus penelitiannya adalah seputar hal-hal yang dapat bertahan lama, diimpikan, dan diwujudkan dalam masa depan manusia. Roanne telah melakukan penelitian di berbagai penjuru dunia, dari desa Inuit di Greenland hingga kampung kumuh di Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

thirty four − thirty one =