Fokuskini – “Kita dapat mengubah momentum krisis ini menjadi lompatan kesempatan. Jamu adalah salah satu keunggulan lokal yang memiliki potensi besar di pasar domestik dan luar negeri. Apalagi disrupsi yang terjadi selama pandemi Covid-19 ini telah menggeser perilaku dan pola konsumsi masyarakat dunia ke arah yang semakin sadar kesehatan. Dengan demikian, potensi jamu di masa depan bisa lebih menjulang,” sambut Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada seminar web (webinar) “Jamu Modern untuk Pasar Indonesia, Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat” yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Jamu (GP Jamu) hari Selasa (15/9/2020.)
Dari sisi peningkatan akses pasar, baik pasar ekspor maupun dalam negeri, Mendag melihat pelaku usaha jamu dapat menggencarkan pola distribusi omnichannel yang menggabungkan kekuatan saluran distribusi daring seperti marketplace, media sosial, dan situs web, dengan saluran distribusi luring yang konvensional.
Menurut Mendag, industri dalam negeri dapat mencontoh kejelian industri jamu dalam melihat peluang ekspor di tengah pandemi. Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan mengapresiasi inisiatif GP Jamu yang melihat peluang jamu di masa pandemi sebagai produk herbal asli Indonesia untuk diekspor ke mancanegara. “Peran GP Jamu itu akan membantu gerak ekonomi dan perdagangan Indonesia, dan di saat yang bersamaan menjaga masyarakat tetap sehat melalui konsumsi jamu,” imbuh Mendag.
Mendag juga menyampaikan, industri jamu Indonesia mampu menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. “Industri jamu memiliki peran penting dalam perekonomian nasional dengan menyediakan lapangan kerja untuk tiga juta tenaga kerja, dan tahun lalu tumbuh 6 persen atau berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional.”
“Selain itu, dengan bahan baku yang kurang lebih 90 persen berasal dari dalam negeri, industri jamu memberikan multiplier effect yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian mulai dari sektor hulu hingga hilir,” imbuh Mendag Agus.
Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah sektor mampu bertahan dari pandemi. Misalnya industri kimia, farmasi, dan obat tradisional tumbuh 8,65 persen pada kuartal ke-2 tahun 2020 jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu di sektor biofarmaka atau tanaman obat, nilai ekspor secara keseluruhan memang ikut terdampak pandemi. Pada periode Januari–Juli 2020, nilai ekspor produk biofarmaka adalah USD 5,69 juta. Nilai ini turun 12,60 persen dari nilai ekspor pada periode yang sama tahun 2019 yang senilai USD 6,51 juta.
Tetapi, peningkatan nilai ekspor di sejumlah kawasan tujuan ekspor memberi harapan untuk jenis produk biofarmaka. Pada periode Januari–Juli 2020, nilai ekspor produk biofarmaka ke kawasan Timur Tengah justru meningkat sebesar 511,41 persen menjadi USD 38,82 ribu, meroket dari USD 6,35 ribu pada periode yang sama tahun 2019. Kenaikan ekspor juga terjadi ke Amerika Serikat yang naik 8,36 persen dan Eropa 5,26 persen pada periode yang sama.
Negara tujuan ekspor produk biofarmaka Indonesia pada periode Januari–Juli 2020 masih didominasi oleh India (52,83 persen), Singapura (7,82 persen), Jepang (6,25 persen), Vietnam (5,37 persen), dan Malaysia (4,98 persen).
Pada 2019, Indonesia menempati urutan ke-18 negara pengekspor biofarmaka ke dunia dengan pangsa pasar sebesar 0,62 persen. Pemasok biofarmaka dunia masih didominasi oleh India (34,88 persen), Republik Rakyat Tiongkok (8,10 persen), dan Belanda (7,16 persen).
“Hal ini menyadarkan kita bahwa potensi produk biofarmaka nasional, seperti jamu, yang bahan bakunya berlimpah di dalam negeri ini perlu kita optimalisasi. Munculnya India sebagai pemain utama biofarmaka dunia di satu sisi, dan kenyataan ekspor bahan biofarmaka nasional yang lebih dari separuhnya ditujukan ke India, secara tidak langsung menunjukkan struktur industri jamu nasional sekaligus potensi pasar yang dapat kita manfaatkan pada tataran global di sektor ini,” kata Mendag Agus.