Ikatan Apoteker Indonesia: Jangan Sembarang Gunakan Ivermectin

Fit Afiat Layar Info LEISURE TIME MOMENTUM Podium

Fokuskini – Ikatan Apoteker Indonesia menyerukan agar masyarakat Indonesia sangat berhati-hati dalam menyikapi informasi yang beredar seputar Ivermectin, obat anti parasit, yang diklaim sebagai mampu mengatasi virus Covid-19.

Masyarakat diharapkan tidak melakukan self treatment di masa pandemi ini, melainkan berkonsultasi dengan dokter untuk diagnosa penyakitnya dan mengkonsultasikan obat-obatan dengan apoteker.

Dalam jumpa pers yang digelar secara daring oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI), kemarin, Apt Drs Nurul Falah Eddy Pariang didamping oleh sejumlah Dewan Pakar PP IAI serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Bidang Farmasi, menyampaikan keprihatinan mengenai maraknya penggunaan Ivermectin secara bebas beberapa waktu terakhir.

‘’Ivermectin memang sudah memiliki ijin edar dari BPOM sebagai obat anti parsit atau obat cacing, tetapi memang penelitian secara in vitro diketahui berpotensi untuk obat Covid-19. Penelitian secara in vitro, artinya baru penelitian dalam skala laboratorium, masih sangat awal dan membutuhkan uji klinik untuk memastikan. Yang pasti, Ivermectin adalah golongan obat keras yang harus didapatkan dengan resep dokter. Karena itu kami menghimbau agar sejawat apoteker di apotek dalam melayani Ivermectin dipastikan ada resep dokter,’’ ungkap Nurul Falah.

Dalam acara tersebut hadir para guru besar di bidang farmakologi, analisis farmasi serta farmasetika mengupas Ivermectin dari berbagai aspek.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Dr apt Keri Lestari, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Bidang Farmasi menyampaikan, selama pandemi, IAI dalam seluruh tingkatan bahu membahu memberikan berbagai informasi kepada masyarakat, termasuk informasi mengenai obat herbal dan penggunaannya secara bijaksana.

Mengenai penggunaan Ivermectin, meski telah mencantumkan Ivermectin dalam panduan, namun WHO belum merekomendasikan sebagai obat Covid-19. Ivermectin baru tercantum dalam guidelines dengan batasan hanya digunakan untuk uji klinik semata. Uji klinik ini nantinya akan memastikan adanya evidence base atau bukti akan keamanan dan khasiat penggunaannya.

‘’Kami sangat tidak menganjurkan pembelian obat secara bebas apalagi melalui online, karena Ivermectin adalah golongan obat keras. Beredar informasi bahwa obat ini bisa digunakan untuk pencegahan. Untuk pengobatan saja belum direkomendasikan, apalagi untuk pencegahan, karena adanya efek samping yang masih perlu ditelaah lebih dalam mengenai keamanan penggunaan obatnya. Profil obat tersebut sebagai obat cacing atau obat anti parasit yang sesuai ijin edar, dinyatakan obat tersebut indikasinya digunakan hanya satu tahun sekali, kalau digunakan untuk pencegahan berarti penggunaannya rutin dalam jangka panjang, ini tentu memerlukan perhatian khusus dan pembuktian lebih jauh,’’ ungkap Keri Lestari.

Saat ini, lanjut Keri, PP IAI juga sedang melakukan uji klinik obat herbal terkait dengan pemulihan ekonomi bidang farmasi. Ia berharap obat herbal yang mendapatkan dukungan untuk uji kliniknya tersebut, akan memberikan satu bukti untuk efektifitas obat Covid, dan Indonesia bisa mandiri mengatasi Covid-19 menggunakan obat berbahan baku alami Indonesia. Bahan obat herbal yang sedang dilakukan uji klinik adalah Soman, OB Herbal serta Imugard.

Dewan Pakar PP IAI, Prof Dr apt Yahdiana Harahap dalam pemaparannya menyampaikan adanya beberapa studi literatur dan studi awal in vitro yang dilakukan di Australia mengenai khasiat Ivermectin sebagai anti virus. Dalam penelitian in vitro, yakni dalam skala laboratorium, ditemukan Ivermectin mampu menghambat replikasi dari SarsCov-2, namun hal ini tidak bisa langsung ditranslasikan dengan kajian klinis

‘’Sebelum sampai pada uji klinis, masih dibutuhkan sejumlah studi lanjutan setelah uji in vitro dilakukan, terutama adalah penyesuaian dosis, dari dosis sebagai anti parasit menjadi dosis anti virus,’’ ungkapnya.

Dalam beberapa literatur ditemukan penghitungan IC 50 bagi Ivermectin, yaitu 5 mikromolar. IC 50 adalah kadar obat dalam darah, sehingga obat tersebut mampu membunuh 50 persen virus dalam tubuh. Studi in vitro yang dilakukan oleh peneliti Australia juga menggunakan kadar 5 mikromolar.

Setelah uji in vitro tersebut, kemudian dilanjutkan dengan studi in vivo. Sebagai informasi, dosis anti parasit yang diijinkan adalah 200 – 400 mikrogram/kg BB, sementara dosis yang ada di pasaran adalah 12 mg. Pada uji in vivo digunakan dosis sebesar 8,5 kali dosis obat yang beredar di pasaran, dan ternyata kadar obat yang ditemukan dalam darah hanya 0,28 mikromolar.

‘’Jadi saya ingin mengatakan, kalau kita ingin mengkorelasikan obat cacing ke anti virus, maka yang perlu diperhatikan adalah dosisnya. Berapa dosis yang harus diberikan, agar mampu membunuh virus dalam tubuh kita. Kalau dalam studi in vitro ditemukan kadar 5 mikromolar yang mampu membunuh virus, sementara dengan dosis 8,5 kali dari dosis obat yang ada di pasaran saat ini hanya mampu menghasilkan 0,28 mikromolar, artinya, apabila akan dilakukan uji klinis, maka dosis yang digunakan seharusnya adalah 250 kali lipat. Itu baru dari sisi hitungan kadar, sementara masih perlu kita pertimbangkan mengenai karakter lain dari obat ini,’’ tutur Yahdiana.

Sementara, kajian lain dari farmakokinetiknya, bioavailabilitas ivermectin ini sangat buruk, absorbsinya tidak bagus, didalam tubuh dia terikat dengan protein sebesar 93 persen. Artinya kalau ingin membunuh virus maka dibutuhkan dosis yang sangat besar, karena kadar dalam darah yang sangat kecil, diperburuk dengan karakternya yang terikat oleh protein, sehingga tidak cukup konsentrasinya untuk membunuh virus dalam tubuh manusia.

‘’Memang bila dalam kajian in vitro, di luar tubuh, maka ditemukan dengan kadar 5 mikromolar mampu membunuh virus, namun dalam tubuh, ada proses, bagaimana obat tersebut bergerak, sehingga mampu mencapai reseptor. Sementara, karena ivermectin didesain sebagai obat cacing, maka obat tersebut tidak didesain agar masuk ke dalam darah dalam jumlah besar. Sedangkan obat apabila menuju reseptor dia harus tersedia di dalam darah dalam jumlah yang cukup dan nantinya menuju reseptor ACE yang mungkin ada di saluran nafas dan lain-lain. Artinya sekali lagi kalau akan dilakukan uji klinis harus dilakukan adjustment dosis supaya bisa membunuh virusnya dengan optimal,’’ tandasnya

Dalam kesempatan tersebut, Yahdiana juga menyampaikan jurnal terbaru yang terbit pada 28 Juni lalu dari Oxford Academy, yaitu Clinical Infectious Disease. Dalam tulisan tersebut, dilakukan studi pemberian ivermectin dan placebo pada pasien, ternyata hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan.

‘’Placebo adalah obat kosong, tidak ada bahan aktif obat didalamnya. Dari studi itu disimpulkan ivermectin tidak memberikan efek sebagai anti virus covid-19. Kemudain kajian lain dari American Medicine Association di AS dilakukan studi terhadap 476 pasien dengan gejala ringan, ternyata juga tidak memberikan efek. Ini adalah kajian secara ilmiah, karena kalau kita ingin melakukan pengembangan obat, tentu harus ada bukti yang mengawali yaitu uji in vitro, kalau oke lalu uji pre klinik berlanjur ke uji fase 1,2,3. Namun sebelum sampai kesana harus dilakukan kajian farmakokinetik untuk menentukan dosis yang tepat,’’ ungkap Yahdiana.

Sementara dalam pemaparannya, Prof Dr apt Zullies Ikawati menyampaikan bahwa dalam pengembangan obat, repurposing bukanlah hal yang tabu. Menggunakan satu obat untuk beberapa indikasi sangat dimungkinkan. Sebagaimana yang terjadi pada hidroksiklorokuin yang sempat dikeluarkan EUA dan masuk dalam panduan terapi Covid-19 tahun lalu. Obat anti malaria ini, tahun lalu sempat diklaim mampu melawan Covid-19, namun dalam penggunaan selanjutnya ditemukan adanya efek samping yang lebih besar dibandingkan khasiat obatnya. Karena itu EUA nya dicabut dan dikeluarkan dari panduan terapi.

‘’Ivermectin pun bisa melalui hal yang sama. Mungkin saja nanti uji klinis bisa memberikan data bahwa bisa digunakan sebagai obat Covid-19, EUA dikeluarkan dan masuk dalam panduan terapi. Untuk itu semua harus didasarkan pada bukti ilmiah. BPOM sudah mengeluarkan PPUK untuk mengobati rasa penasaran kita semua terhadap ivermectin. Kita tunggu saja hasilnya nanti. Apabila nanti ternyata memang uji klinik cukup memuaskan BPOM sehingga dikeluarkan EUA nya, tetapi harus diamati lebih lanjut. Apakah konsistem hasilnya, benefitnya tetap muncul, bila bermanfaat akan diteruskan, tetapi bila ternyata ditemukan masalah dari segi keamananya, sebagaimana hidroksiklorokuin, maka bisa saja dicabut EUA nya dan dikeluarkan dari panduan terapi.

Sebenarnya, lanjut Zullies, strategi drug repurposing ini sebenarnya merupakan strategi yang menguntungkan, karena menggunakan obat yang sudah pernah dievaluasi sebelumnya mengenai keamanan. Ketika obat dikembangkan pada tahun 1975, Prof Omura dan mendapatkan approval pada tahun 1981 oleh FDA, keamanan dan efikasi sebagai anti parasit, yang tentunya dosis berbeda bila untuk Covid-19.

Uji klinik memang sudah banyak dilakukan di beberapa negara, tapi sangat bervariasi, baik secara desain, jumlah subyek, keparahan dari subyek dan outcome klinis yang diukur. Begitu juga variasi dosis yang digunakan. Ada yang menggunakan 0,2 mg/kg sekian hari, ada yang 0,4 mg/kg BB ada pula yang 0,6 mg/kg.

‘’Jadi kita memang harus mencoba menggunakan dosis sendiri, yang tadi menurut Prof Yahdiana juga masih perlu disesuaikan sebetulnya, akan jadi bukti apakah betul akan jadi obat yang potensial atau tidak untuk Covid-19 ini. Ketika ada orang dengan testimoni sembuh dengan ivermectin tentu tidak bisa langsung menyetujui, karena siapa tahu sembuhnya ada faktor lain, karena tidak ada pembanding. Kalau mengatakan saya sembuh oleh ivermectin, kalau orang lain juga sembuh dalam waktu yang sama, berarti belum tentu karena ivermectin. Sehingga perlu dibuktikan dengan uji klinik, mari tunggu uji klinik yang sudah diijinkan BPOM. Bila ada yang ingin tetap menggunakan, harus dibawah pengawasan dokter, karena obat keras harus diperoleh dengan resep dokter,’’ urai Zullies.

Apt Audrey Clarisa, dari Bidang Branding PP IAI mengatakan, India memiliki pengalaman lebih panjang dalam penggunaan ivermectin secara off label yang kemudian masuk dalam panduan terapi di negara tersebut. Namun pada akhir Mei lalu, Departemen Kesehatan India memutuskan untuk mencabut ijin yang diberikan kepada ivermectin sebagai anti Covid-19. Pencabutan ijin itu dilakukan berdasarkan laporan dari para dokter yang menemukan banyaknya efek samping yang terjadi dan bahkan mengakibatkan keparahan yang tinggi.

‘’Oleh karena itu tentunya kita belajar dari pengalaman India, BPOM dan apoteker melihat ini satu hal yang patut dicermati, karena kita harus memastikan bahwa produk yang digunakan harus memenuhi tiga kriteria yaitu kualitas, efikasi dan safety. Jadi selain khasiatnya yang harus diperhatikan adalah keamananya. Jangan sampai setelah menggunakan obat ini muncul efek samping yang tidak diinginkan dan diharapkan. Saat ini sudah tercatat dalam beberapa kejadian. Oleh karena itu efek samping ini perlu dipelajari lebih jauh. Sehingga apabila nanti akhirnya digunakan sebagai obat Covid dalam pengawasan dokter, risikonya sudah dapat diketahui. Jangan sampai melakukan hal yang sia-sia. Masyarakat perlu mempertimbangkan lebih jauh lagi, dan tidak menggunakan tanpa pengawasan tenaga kesehatan dengan ketat,’’ paparnya.

Prof Dr apt Siswandono, dalam kesempatan itu secara tegas mengatakan, bila belajar dari kasus di India, dimana ditemukan banyak efek samping, makai a menganjurkan agar tidak perlu menggunakan ivermectin sebagai obat Covid-19. Apalagi mengacu dengan dosis yang dibutuhkan ternyata sangat tinggi, tentu memungkinkan terjadinya toksisitas yang juga tinggi.

‘’Semula digunakan untuk obat cacing dengan efek local, sehingga memang obat didesain agar tidak diserap oleh tubuh, sementara sekarang akan digunakan sebagai anti virus dengan efek sistemik dengan syarat obat harus dapat diserap oleh tubuh dengan baik, jadi tidak mungkin bisa digunakan untuk anti virus,’’ tegasnya.

Apt Lusy Noviani, Wakil Sekjen PP IAI yang juga praktisi rumah sakit menyebutkan, sejauh ini di rumah sakit tempat ia berpraktek tidak ada seorang dokter pun yang menggunakan ivermectin. Baik dari Komite Farmasi Terapi maupun Komite Medis.

‘’Ia menyayangi sikap masyarakat yang bereaksi begitu luar biasa, hanya dengan mendengarkan informasi yang setengah-setengah. Kami dari rumah sakit, dengan pertimbangan medis, evidence base dan pertimbangan risiko maupun benefit memutuskan untuk menunggu penggunaan ivermectin hingga hasil uji klinis diperoleh,’’ paparnya.

Mengenai penggunaan sebagai profilaksis atau pencegahan, baik Yahdiana maupun Zullies sepakat hingga saat ini belum direkomendasikan. Menurut keduanya, dosis profilaksis bisa diketahui bila dosis untuk terapi atau pengobatan telah dapat ditentukan.

Mengenai uji klinik yang dikoorindasikan oleh Balitbangkes Kemeterian Kesehatan RI, Zullies menjelaskan, dilakukan di 8 RS di Indonesia, yakni uji klinik untuk terapi, yaitu fase 2 dan 3. Uji klinis fase 2 menggunakan 2 macam dosis yaitu dosis 1 adalah 200 ug/kb BB/hari selama 5 hari, dan dosis 2 menggunakan 400 ug/kg BB/hari juga selama 5 hari. Masing-masing dosis akan ditambahkan pada standar of care, diterapkan pada terapi standar. Jadi subyek uji akan mendapatkan terapi standar sesuai panduan plus ivermectin dengan dosis 1, dan dosis 2. Hasilnya akan dipilih dari dua dosis tersebut, mana yang lebih optimal dan akan digunakan untuk uji klinik fase 3. Dimana fase 2 perkirakan dengan jumlah subyek 46, sementara fase 3 melibatkan lebih dari 1600 subyek. Pada fase 3 ini, ada dua kelompok yakni kelompok 1 diberikan terapi standar plus ivermectin dengan dosis hasil uji fase 2 sedang kelompok lain diberikan terapi standar plus placebo sebagai pembanding. Pembanding dibutuhkan untuk memastikan apakah ivermectin memang memberikan perbaikan. Akan ada beberapa hal yang akan diukur, misalnya lama perawatan, percepatan kesembuahn, percepatan hasil PCR menjadi negatif dan sebagainya.

‘’Itu gambaran uji klinis yang akan dilakukan oleh Baltibangkes. Tetapi sekali lagi ini adalah uji klinik terapi bukan untuk profilaksis atau pencegahan,’’ ungkap Zullies.

Mengenai pembagian ivermectin yang dilakukan di beberapa wilayah, mengutip arahan BPOM, Zullies menyebutkan hal itu menyalahi aturan CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik). Karena seharusnya pembagian atau pemberian obat ada aturan baku, tidak bisa dari industri langsung dibagikan ke masyarakat tanpa melalui jalur yang resmi dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak kompeten, yaitu melalui sebuah organisasi petani. Hal ini dikhawatirkan berpotensi terjadinya kesalahan penggunaan karena tidak ada pengawasan. Hal ini yang menjadi perhatian BPOM terkait pembagian yang tidak mengikuti prosedur.

Mengenai harga yang melambung, Zullies melihat hal ini juga bergantung dari masyarakat sendiri, apakah akan ikut-ikut melakukan panic buying atau tidak. Sesuai mekanisme pasar, bila permintaan tinggi sementara persediaan terbatas, maka harga akan melambung tinggi. Bila masyarakat tidak mudah diprovokasi untuk membeli, maka harga akan turun dengan sendirinya. Masyarakat dianjurkan untuk mendengarkan pendapat para pakar dan tidak mudah terprovokasi oleh media social yang menyebarkan berita yang menyesatkan, tidak berdasarkan bukti ilmiah yang cukup. Zullies juga mengkhawatirkan potensi terjadinya pemalsuan obat, bila perilaku masyarakat tidak bijak dalam memperoleh ivermectin dari pasar.

Mengenai kemungkinan terjadinya efek samping, Prof Dr apt Keri Lestari mengingatkan, apabila obat keras ini dikonsumsi tanpa terpantau dengan ketat oleh dokter, maka efek samping yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Sebab sebagai golongan obat keras, yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan fungsi organ yang dapat dipengaruhi oleh penggunaan obat tersebut. Ada beberapa efek samping yang dilaporkan dalam penggunaan obat ini selain mual, pusing juga sindroma tertentu yang menjadikan gangguan kesehatan secara berkepanjangan, juga sudah dilaporkan adanya kegagalan multiorgan. Oleh karena itu, maka penggunaan rasional obat ini hanya satu tahun sekali sebagai anti parasit. Yang dikhawatirkan adalah penggunaan obat secara tidak terkendali, karena hanya golonga obat bebas dan obat bebas terbatas saja yang bisa dibeli secara luas oleh masyarakat. Itu pun harus dengan pendampingan apoteker. Sementara penggunaan obat keras tanpa pengawasan tenaga kesehatan akan ada resiko bagi pengguna.

Masih mengenai harga yang melambung tinggi, Nurul Falah mengutip Permenkes no 89 tahun 2015 mengenai Harga Eceran Tertinggi Obat. Ia menganjurkan agar masyarakat memiliki apoteker keluarga masing-masing, sehingga akan tercatat dan terpantau dengan baik Riwayat obat pasien, mendapatkan informasi obat sekaligus dengan harganya. Dengan memiliki apoteker keluarga, masyarakat juga bisa melakukan konsultasi langsung dengan apoteker keluarga masing-masing.

Dalam kasus ivermectin, HET nya sebenarnya hanya Rp 7.885, tapi kini sudah melambung beberapa kali lipat karena panic buying, karena keawaman masyarakat yang mengira obat ini begitu besar manfaatnya, padahal belum terbukti, karena belum ada uji klinis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ ten = 12