I Made Sumadiyasa, Kini Kedepankan “Sacred Energy“

Galeri Seni MOMENTUM

Fokuskini – Eksibisi tunggal I Made Sumadiyasa dalam waktu dekat berlangsung di Bentara Budaya Bali, atau tepatnya berjadwal penyelenggaraan pada 28 Juli-5 Agustus 2019.

Mengedepankan tajuk “Sacred Energy“, seniman kelahiran Tabanan ini mengulik energi alam dan kehidupan dalam dimensi immaterial melalui penciptaan drama piktorial seturut gerak spontan tak terduga, bahkan meluap lepas dan melepas batas.

Selama dua puluh lima tahun lebih karier kekaryaannya, seniman ini suntuk mencipta seni rupa abstrak ekspresionisme dengan aspek emotif yang sangat kuat melampaui menifestasi bentuk-bentuk “objektif“ alam itu sendiri.

Ekspresionisme dalam gerak bebas semesta batin yang subjektif, sekaligus wahana penjelajahan ketakterbatasan energi kosmik yang sangat dinamis dalam skala kolosal.

Dengan karya-karya abstrak ekspresionistik itu, pada awal dekade 1990, seniman kelahiran Tabanan tahun 1971 dan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, telah mengejutkan publik dan memperoleh apresiasi internasional.

Mula-mula Sumadiyasa banyak mengeksplorasi bentuk-bentuk semi representasional objek-objek, baik sosok-sosok manusia maupun bentuk-bentuk ideoreligius tradisional Bali seperti barong, ikon-ikon maupun figur-figur simbolik dunia perwayangan dan sejenisnya.

Ekspresionisme Sumadiyasa pada fase ini bertumpu pada aspek emotif dari objek-objek berikut gambaran atmosfer dimana objek-objek itu hadir. Setelah itu muncul “abstraksi“ bentuk-bentuk yang menggantikan drama piktorial alamiah ke dalam konstelasi gerak objek-objek nan bebas, sekaligus mengesankan keteraturan yang bersifat menyeluruh-utuh.

Drama piktorial yang sangat dinamis itu merupakan ekspresi dari situasi (state of) energi dan gerak alam maupun kehidupan itu sendiri. Juga sebagai wahana untuk merasuk ke dalam energi alam sekaligus lintasan-lintasan spirit yang ada di baliknya.

Belakangan, ekspresionismenya juga mengulik daya-daya suci (sacred energy) sebagai energi “primal“ di mana daya-daya kehidupan tercipta.

Di sana-sini energi kosmik itu ditampilkan dalam ukuran ekstra besar sehingga akan menimbulkan efek “totalitas performatif“ yang lebih kuat pula. Yaitu efek pemaknaan intensional yang melebihi dimensi visual an sich, karena hal itu akan menimbulkan getaran yang lebih kuat pada si pemandang. Melalui drama piktorial spektakuler itu gelora dan kebesaran “energi kosmik“-nya tampil dalam wujud yang benar-benar nyata.

Karya-karya abstrak ekspresionistik I Made Sumadiyasa tidak hanya objek retinal belaka, pun bukan gambaran visual tentang kedahsyatan energi alam, tapi sudah menjadi wujud dari gelora energi itu sendiri. Bukan sekadar drama piktorial tentang gejolak batin sang subjek pembuatnya, atau gambaran ekspresi daya-daya kosmik, melainkan juga wujud dari energi alam itu sendiri.

Kesadaran terhadap kekuatan energi alam (termasuk sacred energy) ini menjadi penting ketika kian banyak orang yang melupakan daya-daya kosmik akibat terlalu dominannya paradigma antropomorisme dan antroposentrisme yang meletakkan manusia sebagai pusat dunia dan kehidupan.

Manusia adalah subjek yang berhak menaklukkan dan menguasai serta mengeksploitasi alam dan lingkungan. Itulah pangkal dari degradasi terhadap alam berikut daya-daya kosmik penyangganya.

Maka, diperlukan pergeseran menuju paradigma “ekosentrisme“ atau “kosmosentrisme“ yang menempatkan alam sebagai pusat dunia dan kehidupan. Diperlukan juga wahana-wahana baru untuk membangun keseimbangan antara daya-daya individual dengan daya-daya primal alam semesta yang mengatasinya dengan melatih kepekaan terhadap segala ketidakpastian, kekuatan dan gerak alam yang sangat dinamis sebagai manifestasi energi dunia dan kehidupan ini.

Eksibisi seni yang dikuratori oleh Wicaksono Adi ini hendak mengajak kita semua untuk melatih kepekaan terhadap daya-daya semacam itu guna menggeser cara pandang yang kelewat antroposentris menuju kesadaran kosmosentris. Dengan begitu, kita dapat lebih memuliakan segala energi alam yang sering berada diluar jangkauan daya-daya manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

forty six + = 52