Penurunan Harga Gas Industri Diyakini Bakal Dongkrak Produktivitas

BACAAN UTAMA CITRA JAWATAN FIT AFIAT GUYUB FOKUS

Fokuskini – Kementerian Perindustrian menyambut baik pemberlakuan harga gas industri di level USD6 per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Hal ini diyakini dapat mendongkrak daya saing sektor industri sekaligus meningkatkan investasi di dalam negeri, sehingga akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.

“Harga gas untuk industri merupakan salah satu aspek penting dalam struktur biaya produksi dan memberikan faktor daya saing yang signifikan,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita lewat keterangannya di Jakarta, hari Rabu (15/4/2020).

Menperin pun optimistis, penurunan harga gas industri tersebut bakal mengatrol produktivitas dan utilitas sektor manufaktur di dalam negeri. Hal ini sesuai upaya memacu kinerja sektor industri pengolahan nonmigas nasional, dengan menjaga ketersediaan bahan baku dan energi, termasuk mendorong agar harganya bisa kompetitif.

“Sebagian besar industri manufaktur di dalam negeri membutuhkan gas, baik untuk kebutuhan energi maupun bahan baku. Karena itu, harga gas industri di tanah air harus kompetitif, sehingga sektor industri dapat meningkatkan efisiensi proses produksinya, yang ujungnya akan bisa menghasilkan produk-produk yang berdaya saing baik di kancah domestik maupun global,” paparnya.

Penetapan harga gas industri menjadi USD6 per MMBTU setelah diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri., yang memutuskan penyesuaian harga gas untuk industri termasuk kebutuhan PT PLN (Persero).

Ketujuh sektor bidang industri itu adalah pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Permen itu juga mengatur mengenai kriteria industri yang mendapat gas tertentu.

Industri yang selama ini memperoleh harga tinggi, diturunkan menuju atau mendekati USD6 per MMBTU. Ini tergantung seberapa besar kemampuan penyesuaian harga hulu dan biaya transportasinya. Tetapi bagi industri yang sudah mendapat harga di bawah USD6 per MMBTU, tetap berlaku dan tidak harus naik.

Sebagai pembina sektor industri, Kemenperin mengapresiasi atas diluncurkannya kebijakan ini di tengah kondisi yang memprihatinkan karena bencana nasional Covid-19. Menperin meminta, bagi industri yang menerima harga gas sebesar USD6 per MMBTU di plant gate, harus membuktikan bahwa insentif tersebut akan meningkatkan kinerja dan daya saingnya.

Sejumlah pelaku industri mengaku bahwa pemberlakukan harga gas industri di level USD6 per MMBTU sebagai angin segar di tengah dampak pandemi Covid-19. Hal ini seperti diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono.

Menurutnya, penurunan harga gas industri sangat membantu dalam kelangsungan industri petrokimia, di mana harga gas ini akan menurunkan harga jual produk sekitar USD2 per ton sehingga mampu bersaing terhadap produk impor, terutama dari luar ASEAN.

“Saat ini ada beberapa komoditas yang sudah over supply yang diakibatkan oleh penambahan kapasitas atau investasi baru, dan juga pelemahan permintaan dalam negeri sehingga dengan penurunan (harga gas) ini akan memperkuat daya saing untuk ekspor,” tutur Fajar.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) Bonar Sirait menyampaikan, pihaknya menyambut gembira serta berterima kasih atas terbitnya kebijakan penurunan harga gas yang sudah sangat lama ditunggu. Ini menjadi sebuah keputusan yang sangat tepat dan akan membuat sektor industri dapat bersaing lebih baik lagi.

“Apalagi, dalam keadaan sekarang ini di tengah pandemi Covid 19, di mana terjadi kondisi yang luar biasa dan force majeure bagi seluruh industri. Kebijakan turunnya harga gas akan membuat industri dapat nafas baru,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan, terbitnya kebijakan penurunan harga gas industri akan diapresiasi setinggi-tingginya disertai ucapan terima kasih banyak dari sektor industri pengguna gas bumi. Sebab, daya saing mereka sangat bergantung pada keekonomian energi gas bumi.

Yustinus menjelaskan, di industri manufaktur ada tangible asset dan intangible asset, yang merupakan akumulasi usaha dan konsistensi yang didukung oleh kebijakan negara. “Kami yakin sektor industri manufaktur pengguna gas bumi bisa bangkit dan berkontribusi lebih banyak pada perekonomian nasional, bahkan semakin kuat untuk re-industrialisasi, dengan memasok kebutuhan domestik dan ekspor,” terangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 1 = one