Fokuskini – Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan drg Vensya Sitohang lewat keterangannya mengatakan, pandemi COVID-19 memberikan dampak di masyarakat. Sebagian orang mengalami masalah gangguan mental neurologis. ”Kondisi pandemi (COVID-19) memperparah ataupun semakin mempengaruhi kesehatan jiwa,” katanya pada konferensi pers di Hotel Conrad, Bali kemarin terkait rangkaian15th ASEAN Health Ministers Meeting.
Angka prevalensinya meningkat satu sampai dua kali lipat dibandingkan kondisi sebelum pandemi COVID-19. Kelompok yang terpapar dengan gangguan jiwa pun berbeda-beda.
Psikiater Dr dr Hervita Diatri Sp KJ (K) menjelaskan kelompok orang yang terpapar gangguan jiwa itu berbeda-beda, dan memiliki penatalaksanaan yang berbeda pula.
Kelompok yang pertama adalah mereka yang sebenarnya normal atau tidak ada masalah kesehatan jiwa, kemudian menjadi memiliki masalah sampai mengalami gangguan jiwa.
Kelompok kedua adalah mereka yang memang sejak awal sudah mengalami masalah kesehatan jiwa, sebagai contoh kita bicara tentang mereka yang sudah tinggal bersama dengan kekerasan di rumahtangga. Kondisi seperti sekarang ini membuat mereka menjadi begitu dekat dengan pelakunya terus-menerus di rumahtangga, sehingga masalah gangguan jiwanya menjadi lebih besar.
Kelompok ketiga adalah mereka yang memang sebelumnya sudah memiliki masalah kesehatan fisik dan mengalami kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan. Sehingga sangat wajar kalau merasa cemas yang kemudian penyakitnya seperti kanker, hipertensi, jantung dan sebagainya menjadi berat. Demikian juga teman-teman dengan gangguan jiwa yang tidak bisa memiliki akses pengobatan.
Kelompok terakhir adalah kelompok yang terutama banyak kita temukan di bulan Juli 2021 saat gelombang kedua pandemi COVID-19 yang membuat masalah oksigen langka, sementara asupan oksigen ke otak itu kurang, bisa saja pada akhirnya menyebabkan gangguan jiwa yang menetap.
”Masalah bunuh diri sebagai contoh, di lima bulan awal pandemi COVID-19 datang, survei mengatakan bahwa 1 dari 5 orang di Indonesia usia 15 sampai 29 tahun terpikir untuk mengakhiri hidup. Selanjutnya, 1 tahun pasca pandemi oleh survei yang berbeda didapatkan data 2 dari 5 orang memikirkan untuk bunuh diri. Dan sekarang di tahun awal 2022 itu sekitar 1 dari 2 orang yang memikirkan untuk mengakhiri hidup,” jelas dr Hervita.
Sejalan dengan komitmen global untuk mengatasi masalah kesehatan mental, ASEAN plus Three Leader (Republik Rakyat Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan) mengakui bahwa promosi kesehatan mental diidentifikasi sebagai salah satu prioritas kesehatan di bawah agenda pembangunan kesehatan ASEAN pasca 2015.
Drg Vensya melanjutkan promosi itu dilakukan antara lain dengan mempromosikan berbagai model dan praktek efektif tentang program dan intervensi kesehatan mental diantara negara anggota ASEAN, dan peningkatan integrasi program kesehatan mental di tingkat perawatan primer dan sekunder.
”Pandemi juga berdampak pada kesehatan mental dan penting untuk mendapatkan perhatian dari negara-negara di ASEAN, maka dalam rangkaian acara 15th ASEAN Health Ministers Meeting ini menjadi momentum untuk meningkatkan kepedulian masyarakat ASEAN terhadap kesehatan jiwa,” harapnya.