Fokuskini – Perancang busana Indonesia, Edward Hutabarat mengagendakan penampilan keindahan seni tenun Indonesia dalam pameran bertajuk “Selimut Nusantara” pada 28 November 2023 – 3 Januari 2024 di Carrousel du Louvre, Paris, Prancis.
Pameran menyoroti kain-kain dari seluruh Indonesia; Tenun Ikat dari Sumba dan Timor (Nusa Tenggara Timur) serta Bali dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Ulos Samosir dan Tenun Songket (Sumatra).
Edward Hutabarat sudah lama dikenal dengan kontribusi kreatifnya pada fesyen Indonesia, secara konsisten menampilkan keindahan dan keragaman budaya tanah airnya. Dalam upaya terbarunya ini, Hutabarat mengeksplorasi makna budaya dari Tenun, khususnya dari Nusa Tenggara Timur.
“Indonesia dikenal dengan keistimewaan sandang, pangan, dan papannya, dan inilah yang membentuk peradaban merekam,” ujar Edward di Jakarta, yang menamai kain-kain tersebut dengan sebutan “Selimut Peradaban”.
Bersama dengan kain-kain ini, terdapat pula foto-foto dokumentasi Edward Hutabarat yang memberikan gambaran sekilas mengenai asal-usul dan proses pembuatan karya-karyanya yang kompleks. Foto-foto ini dihasilkan dari berbagai perjalanannya ke berbagai daerah di Indonesia selama dua dekade terakhir, di mana ia menyelami sejarah panjang pembuatan kain, dan menjadi saksi dari kehidupan dan komunitas pembuat tenunan yang melingkupi kain-kain tradisi Nusantara.
Dengan belasan ribu pulau dan ratusan kelompok etnis dan bahasa, Indonesia dikenal sebagai negara maritim, dengan banyak nelayan dan petani. Dalam kehidupan sehari-hari, kain merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakatnya. Kain berfungsi sebagai selimut membaluti tubuh yang lemah.
Kain juga dibawa oleh para nelayan ke laut, dibasuh oleh air laut, dan kemudian dijemur di bawah teriknya matahari di Indonesia Timur. Seperti yang dijelaskan oleh Hutabarat lewat keterangannya, “Peradaban Indonesia sangat erat kaitannya dengan ‘selimut’ (kain) namun, ‘selimut’ di Indonesia dikenal dengan nama-nama lain seperti sarung (selembar kain yang kedua ujungnya dijahit menjadi satu), jarit (kain katun tipis, biasanya berupa Batik atau Lurik), dan masih banyak lagi.”
Gelaran pameran juga mengekspresikan rasa hormatnya pada Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah. Ia mengadakan peragaan busana dari beberapa gagasan kainnya pada bulan November 2022, pada acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, juga menyatakan antusiasmenya mendukung proyek baru ini. “Selimut Nusantara didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, berkolaborasi dengan perusahaan rintisan digital yang berbasis di Paris, Best of Indonesia,” ujarnya.
Secara keseluruhan, koleksi kain ini menjanjikan untuk mengungkap keindahan, kekayaan, keterampilan, dan kearifan budaya Indonesia, khususnya dari Sumba. Selimut yang ditenun seluruhnya dari bahan alami, telah memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari dan budaya selama berabad-abad. Namun, dengan “Selimut Nusantara”, Edward Hutabarat mendobrak batas dan menantang peran “selimut peradaban” ini dalam konteks internasional.
“Saya ingin selimut ini menjadi bagian dari gaya hidup di ranah internasional. Dalam mengembangkan warisan budaya Indonesia, saya selalu berfokus pada empat aspek utama, yaitu identitas, kualitas, kreativitas, dan kesederhanaan. Dengan poin-poin ini, saya menciptakan skenario Timur-bertemu-Barat. Tren yang tidak mengenal gender ini hadir dengan cita rasa dan perasaan, mencerminkan harmoni, bukan ambisi atau emosi,” ditegaskan Edward.
Melalui “Selimut Nusantara”, ia membayangkan betapa indahnya kain-kain tradisi tersebut di bawah matahari terbit, terbenam, ataupun saat cahaya bulan muncul, dan dapat dibawa ke mana saja untuk berjalan-jalan di tengah kota, atau dalam perjalanan mewah di mana saat dimandikan di laut lepas dan dijemur di galangan kapal.
“Selimut Nusantara” menjanjikan perjalanan visual dan budaya kepada publik internasional di Paris, menangkap esensi dari warisan kebudayaan Indonesia yang kaya melalui lensa Edward Hutabarat dan ketertarikan abadi terhadap craftmanship dan komunitas