Fokuskini – Karya terbaru komposer Otto Sidharta ikut ambil bagian di festival tahunan kedelapan, Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF 2019, 21-23 November di Yogyakarta dan Magelang) dengan tajuk “Harihara” yang melibatkan koreografi tari, yoga dan vokalisasi musik selain pembacaan puisi panjang Subagio Sastrowardoyo itu sendiri.
Mengambil tempat pertunjukan di Bukit Rhema Gereja Ayam, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah — pentas seni budaya kolaborasi Harihara turut menghadirkan Nirwan Dewanto dan Godi Suwarna yang membaca sajak-sajaknya serta monolog Bhomakarya “Babad Bhoma”.
Harihara dalam teologi Hindu adalah persenyawaan antara Dewa Siwa dan Wisnu, ataupun salah satu arca terbaik di era Kerajaan Majapahit adalah arca Harihara sebagai perwujudan dari Raden Wijaya. “Jadi ketika Raden Wijaya wafat, ia diarcakan dalam bentuk arca Harihara yang berawal ditempatkan di Candi Simping, Blitar, Jawa Timur. Namun di saat penjajahan Belanda dibawa ke Batavia, dan hingga kini ada di Museum Nasional sebagai arca terbagus dari masa Majapahit,” dijelaskan kurator BWCF, Seno Joko Suyono.
Otto Sidharta dan rekan-rekan kolaborasinya memanfaatkan ketinggian gedung Gereja Ayam yang tinggi menjulang menimbulkan gaung yang jadi problem komponis ketika membikin komposisinya. “Nah, jeniusnya Otto membuat komposisi musik yang mengantisipasi gaung, bahkan justru gaung tidak menjadi beban tapi komposisi soundscape itu menjadi menyesuaikan diri dengan gaung musik elektronik melalui komposisi baru,” ditambahkan Seno
Yudi Widdyantoro, pengajar yoga dalam pertunjukan musik ini ikut tampil menari dan, menurutnya, ini dengan menerapkan konsep yoga sebagai bagian performa dialog kesenian.
Tema besar BWCF 2019 terkait mengenang Zoetmulder adalah melangsungkan Pidato Kebudayaan “Tantrayana di Jawa Kuno” oleh Dr Andrea Acri yang berlanjut dengan pelaksanaan dua sesi simposium Membedah Tantrayana di Nusantara dan Pertapaan-pertapaan dalam manuskrip dan Kisah-kisah Perempuan. (yay)