Speaker First Kuncinya “Passion”

LEISURE TIME MOMENTUM Muziek! Podium Reka Gaya

FOKUSKINI – Bensinnya adalah musik, entah bagaimana maksudnya, tetapi Speaker First yakni kelompok musik bergenre rock n roll bentukan 2002 mulai ngegas lagi tahun 2016 guna kepastian misi besarnya yang harus sepenuhnya dijalankan.

“Apa yang membuat kita tetap berjalan adalah passion, karena kecintaan terhadap musik. Gigih. Kukuh. Kalau kami bermusik cuma ngejar materi, kalau tidak berhasil ya selesai, cari kerja lain. Kuncinya kalau tidak ada passion, ya sudah ditinggalin dari dulu-dulu,” diakui Beni Barnady, terus terang.

“Kita rock n roll bukan berarti tidak dengerin musik pop, karena harus memahami tren juga sebagai bahan referensi berkarya, seperti The Rolling Stones masa 1970-an apa perubahannya di tahun 1980-an dan seterusnya, karena mereka mau beradaptasi bisa long lasting,” papar Beni.

Spirit menyala Speaker First dimulai dari Woodstock Festival dua tahun lalu di Polandia, dan berlanjut di Liverpool Sound City Festival 2018 serta Musexpo 2018 di Los Angeles, Amerika Serikat. Buah hasilnya kini Speaker First telah resmi dalam kesepakatan kontrak bisnis dan jadi bagian dari label internasional BMG.

Maka bulan ini mereka mulai wajib merampungkan karya musik terbaru, dan itu sudah berjalan lewat tahapan enam lagu. Speaker First (Beni Barnady, Bony Barnady, Mahattir Alkatiry) mulai dikenal luas bukan cuma di Bandung sejak merilis solo album Whatever You Say lewat label Sony Music Indonesia. Mereka pun ikut mengisi OST film drama Gie.

Mereka kian bulat meyakini bahwa artis musisi atau apapun, marwahnya ya berkarya, karena itu yang bisa disombongkan dan jangan pernah berhenti. Seperti konsep musik Speaker First yang berciri bunyian bright yang distingtif. “Tetapi tetap bagaimana lagunya dengan keyakinan punya kekuatan corak sendiri,” tegas Beni, melanjutkan obrolannya dengan Fokuskini.

“Saya berdua gitaran sama si Bony, ya pembagiannya harus mengisi posisi dalam bauran mix yang harus berbeda, supaya tidak menumpuk. Yang penting, kami menolak bunyian standar karena membosankan. Pengen kasih warna sendiri seperti Slash, Brian May yang karakteristik karena quest for tone (pencarian nadanya) berproses yang pastinya harus melewati itu,” ungkap lanjut Beni. (jos)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ fifty two = fifty four