Fokuskini – Selama masa pandemi Covid-19 penanganan masalah HIV/AIDS menjadi terhambat. Bahkan, program-program kesehatan lainnya juga mengalami kendala.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi M.Epid mengatakan sebenarnya banyak hal yang sudah dilakukan pihak pemerintah sepanjang penularan HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987. Pertama kali ditemukan di Indonesia, dan kemudian menjadi program nasional di Kementerian Kesehatan.
Di awal tahun 2012 estimasi orang dengan HIV/AIDS di Indonesia ada sekitar 630 ribu. Estimasi ini cukup baik karena kemudian angkanya turun menjadi 543 ribu di 2018.
”Jadi ini merupakan kerja bersama kita dan kerja semua. Tidak bisa hanya oleh sektor kesehatan saja, di berbagai lintas sektor dan lintas program ikut terlibat dari mulai upaya pencegahan sejak tentunya (usia) remaja, bagaimana mengubah perilaku berisiko seksual, ataupun bagaimana pengobatan, dan sehingga seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS tidak jatuh pada kondisi terpuruk dan tetap beraktivitas secara normal,” kata dr Nadia saat media briefing virtual di Gedung Kemenkes, Jakarta, kemarin
Tahun 2019 lalu, Kementerian Kesehatan bisa melakukan tes khususnya untuk HIV, Sifilis, dan Hepatitis kepada dua juta lebih ibu hamil. Tahun ini, tambah dr Nadia, mungkin karena terkendala permasalahan Covid-19 ibu hamil yang dites baru pada angka 1,7 juta, dimana dari 1,7 juta ini kurang lebih 0,3% positif HIV/AIDS.
Kita kuatkan komitmen untuk berupaya mencegah ibu hamil yang positif HIV/AIDS menularkan kepada anaknya. ”Ini yang sudah pasti supaya kita menghasilkan SDM yang tentunya berdaya saing, dan tentunya nanti akan berkontribusi pada pembangunan nasional secara umum,” harap dr Nadia.
Langkah awal yang kita lakukan adalah mencegah anak yang dilahirkan tidak terinfeksi HIV/AIDS melalui Program Aku Bangga Aku Tahu. Kemenkes juga berusaha mengurangi stigma dan diskriminasi yang dirasakan orang dengan HIV/AIDS.
”Terutama pada anak-anak ataupun bayi yang tadinya HIV/AIDS positif kemudian mengalami stigma dan diskriminasi di masyarakat. Dengan Program Aku bangga Aku Tahu, untuk tahun ini kita berusaha mengurangi bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi,” tegas dr Nadia.
Dengan program Aku Bangga Aku Tahu, Kemenkes mengajak semua orang untuk mengetahui status HIV/AIDS. ”Supaya memastikan pada saat nanti berkeluarga, dan kemudian berencana untuk memiliki keturunan dipastikan sudah mengetahui status HIV/AIDS,” ujar dr Nadia.
Ketua PP Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi dr Ari Kusuma J Sp.OG mengatakan untuk mengakhiri HIV/AIDS terdapat tiga ukuran yakni pertama zero infeksi baru, pihak pemerintah akan menekan infeksi baru seminimal mungkin tidak ada kasus baru. Ditargetkan sebanyak 90% orang dengan HIV/AIDS mengetahui statusnya.
Kedua zero kematian akibat HIV/AIDS, hal ini diukur dari 90% orang dengan HIV/AIDS diobati atau menjalani pengobatan ARV.
Ketiga zero diskriminasi, yakni 90% orang dengan HIV/AIDS tidak merasa terdiskriminasi.
”Kita melihat masih banyaknya diskriminasi terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS, baik oleh keluarganya maupun oleh masyarakatnya masih mengalami stigma dan diskriminasi,” ungkap dr Ari.
Ia menambahkan, penanganan HIV/AIDS harus menjadi komitmen bersama. Untuk sampai kesana memang tidak bisa bekerja seperti pemadam kebakaran, sudah kejadian barulah bergerak, tetapi kita mulai dari pencegahan penyakit menular pada perempuan usia produktif.
“Disinilah pentingnya pendidikan seksual, memahami kesehatan reproduksi bagi remaja,” ujarnya.