Fokuskini – Infeksi HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dunia maupun Indonesia. Di level nasional, jumlah ODHIV terpantau fluktuatif.
Berdasarkan data permodelan epidemi HIV dengan aplikasi Asian Epidemic Modeling dan Spectrum diperkirakan ada sekitar 543.100 ODHIV yang tersebar di Indonesia. Jumlah ini cenderung fluktuatif.
Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melakukan eliminasi AIDS pada tahun 2030 mendatang. Komitmen tersebut tercermin dalam target 95-95-95 yakni 95% pertama ODHIV mengetahui status HIV, 95% kedua ODHIV mendapatkan terapi obat ARV (antiretroviral), 95% ketiga semua ODHIV yang sudah dapat obat ARV mengalami penurunan viral load.
Sejumlah langkah strategis telah disusun Kemenkes bersama stakeholder terkait, diantaranya menerbitkan RAN (rencana aksi nasional) Eliminasi HIV AIDS, Perluasan akses pencegahan, layanan diagnosis HIV dan pengobatan ART (terapi antiretroviral) dan infeksi oportunistik, menjalin kerjasama dengan stakeholder terkait serta melakukan inovasi pencegahan dan pengendalian HIV AIDS dan IMS.
“Usaha yang kita lakukan secara komprehensif ini berdasarkan status kesehatan orang-orang tersebut. Ini membuat kita tidak melakukan diskriminasi dan mengutamakan Hak Asasi Manusia agar semua ODHA mendapatkan akses yang baik di bidang kesehatan,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada Puncak Peringatan Hari AIDS Sedunia 2021 di Jakarta, pekan ini.
Kendati upaya eliminasi HIV AIDS terus diperkuat, namun capaian eliminasi HIV AIDS di Indonesia masih jauh dari target.
Wamenkes menilai ada sejumlah penyebab yang menghambat upaya eliminasi HIV AIDS di Indonesia diantaranya jumlah fasyankes yang mampu melakukan skrining HIV belum merata, serta rendahnya kesadaran ODHIV melakukan pengobatan ARV.
”Saat ini kita belum mencapai 3 target eliminasi tersebut khususnya target pengobatan dan target surpresi viral load-nya. Ini karena belum tersedianya fasyankes yang merata untuk melakukan tes dan pengobatan HIV AIDS, tingginya lost to follow up pada pasien HIV AIDS sehingga pengobatan belum optimal,” terangnya.
Dari target triple 95%, dilaporkan baru ada 75% ODHA yang mengetahui status HIV, dan baru 39,6% ODHIV yang mendapatkan obat ARV, dan baru 32,4% ODHIV yang mendapatkan ARV sudah mengalami penurunan viral load.
Masih rendahnya target eliminasi ini, menurut wamenkes juga dipengaruhi stigma dari keluarga, petugas kesehatan maupun masyarakat luas terhadap ODHIV. Minimnya dukungan dari orang sekitar turut berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan ODHIV melakukan pengobatan ARV.
Padahal, orang dengan HIV tentu memerlukan dukungan untuk tidak menghentikan pengobatan tanpa indikasi medis dan tetap semangat karena dengan ARV, dan tetap dapat berkarya dengan baik.
Kementerian Kesehatan memiliki komitmen dalam upaya agar stigma dan diskriminasi pada pasien-pasien HIV AIDS dengan menjamin hak asasi manusia termasuk orang dengan HIV, serta menerapkan kebijakan untuk meningkatkan akses pelayanan pada HIV harus secara komprehensif terintegrasi dan bermutu.
Kementerian Kesehatan juga telah mencanangkan Program STOP (Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan). Wamenkes berharap, berbagai upaya yang telah dirancang untuk pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
”Ini akan memberikan refleksi kita untuk melakukan upaya yang terbaik di masa yang akan datang, sehingga kita bisa melakukan optimalisasi dan sinergisme diantara kelembagaan, dan kita bisa menempatkan pasien ODHA di tempat strategis dan sebaik-baiknya bedasarkan hak asasi yang mereka miliki,” harapnya.