Fokuskini – Wakil Ketua Komite Ahli Penanggulangan Tuberkulosis 2021 Profesor Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya mengatakan, dari program penanggulangan Covid-19 misalnya testing, tracing, dan treatment, hal yang sama bisa juga dilakukan untuk tuberculosis (TBC). Kemudian pakai masker juga jelas dapat mencegah penularan Covid-19 dan TBC, seperti disampaikannya pada konferensi pers Hari TBC Sedunia secara virtual di Jakarta, kemarin.
”Jadi, (penggunaan) masker ini memang penting untuk mengurangi penularan semua penyakit yang dikeluarkan lewat saluran pernapasan. Kita harapkan semua pelayanan kesehatan itu berjalan baik untuk menangani Covid-19 dan juga untuk menangani TBC,” katanya.
Sebagai contoh, penelusuran kontak kasus positif Covid-19 dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan. Begitu juga penelusuran kontak dari pasien TBC diperlukan untuk mencegah penularan. Covid-19 tidak akan selesai kalau hanya mengandalkan pihak pemerintah, harus ada keterlibatan masyarakat untuk menangani penyakit tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk TBC.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, TBC masih merupakan masalah kesehatan utama yang ada di dunia termasuk Indonesia. Diperkiraan kasus sebanyak 845 ribu untuk kasus TBC biasa dan 24 ribu untuk kasus TBC resisten yang ada di Indonesia.
Pada situasi pandemi, kasus TBC di tahun 2020 dari 845 kasus yang seharusnya ditemukan hanya 350 ribu atau 349 ribu kasus. Sementara untuk kasus TBC resisten dari perkiraan 24 ribu kasus yang harusnya ditemukan, hanya 860 kasus.
Persentase di tahun 2018 dan 2019 estimasi kasus yang ditemukan sebesar 60%. Tetapi ternyata di tahun 2020 malah kebalikannya hanya 30% kasus yang ditemukan itu. ”Ini menjadi alarm kita di 2021 untuk segera bisa kembali kepada jalur untuk kita segera menemukan jumlah kasus sesuai dengan estimasi tadi,” terang dr Nadia.
Selama pandemi Covid-19, pelayanan TBC dilakukan dengan protokol kesehatan menyesuaikan situasi keberadaan saat ini. Layanan TBC dipastikan tetap berjalan, dan frekuensi penemuan pasien TBC tidak akan menurunkan kualitas.
Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pemantauan pengobatan secara elektronik melalui whatsapp ataupun sarana elektronik lainnya. ‘Jadi setiap hari pasien dihubungi melalui alat komunikasi baik itu ke pasien ataupun keluarganya. Jadi pada saat pengambilan obat di Puskesmas atau di rumah sakit akan dimintakan nomor kontaknya, sehingga bisa dilakukan pemantauan pengobatan secara elektronik,” tutur dr Nadia.
Selain itu juga ada kebijakan relaksasi interval pengambilan obat. Pada pasien TBC sensitif untuk fase intensif obat TBC bisa diberikan dalam kurun waktu 14 sampai 28 hari, sementara pada pengobatan lanjutan intervalnya adalah 28 hari sampai 56 hari yang sebelumnya ini hanya 2 minggu.
Bagi pasien TBC resisten obat juga diberikan kemudahan yaitu setiap 7 hari, dan pada lanjutannya adalah pada fase 14 sampai 28 hari.
”Kami mengimbau masyarakat yang memiliki gejala batuk melebihi waktu dua minggu, ataupun batuk-batuk yang diketahui tidak sembuh dengan pengobatan obat batuk biasa untuk segera memeriksakan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tidak perlu takut untuk mendatangi Puskesmas atau rumah sakit,” harapnya.